Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.
Kamis, 28 Maret 2013

PONDOK SPIRITUAL CUPU MANIKASTAGINA

PONDOK CUPU MANIK ASTAGINA | MADIUN JAWA TIMUR

Cupu Manik Astagina merupakan ajaran Sunan Kalijaga agar masyarakat sejahtera. Asta berarti delapan, yang berarti ada delapan ajaran. Kedelapan hal tersebut adalah  wanita, garwa ‘jodoh’, wisma  ‘rumah’, turangga ‘kuda tunggangan’, curiga ‘keris’ atau ‘senjata’, kukila ‘burung berkutut’, waranggana  ‘ronggeng-penari wanita’, pradangga ‘gamelan-bebunyian berirama’.
Tulisan ini tidak akan menjelaskan makna Cupu Manik Astagina dari sisi ajaran Sunan Kalijaga kembali, melainkan akan mencari makna Cupu Manik Astagina yang kisahnya dapat dibaca dalam Anak Bajang Mengiring Angin karya Sindhunata.
Awalnya, Cupu Manik Astagina itu dimiliki oleh Retna Anjani, anak Resi Gotama. Dalam penglihatan Resi Gotama, isi Cupu tersebut adalah segala isi jagad raya yang indah sekali. Cupu yang ternyata cupu wasiat itu adalah milik pada dewa. Di negeri para malaikat dewa-dewa mandi dengan air kehidupan dari permata-permata mendung. Ketika dewa ingin membawa air tersebut, mereka tidak menemukan wadahnya, maka para malaikat memberkan cupu dan digunakanlah untuk menyimpan air itu. 

Setelah ditanya, ternyata cupu tersebut berasal dari ibunya, Dewi Windradi dengan pesan agar cupu itu tidak ketahuan ayah dan saudaranya. Resi Gutama pun menyelidiki asal muasal cupu itu. Dewi Windradi tetap tidak bicara. Ternyata, cupu itu pemberian Batara Surya ketika Dewi Windradi berkasih-kasihan dengannya. Perbuatannya bukan semata-mata karena nafsu, melainkan karena ia melihat kasih yang diberi Batara Surya terhadap penderitaannya. Kala itu, Batara Surya meramalkan bahwa cupu itu akan membawa penderitaan pada keturunannya  demi perubahan dunia. 

Karena Dewi Windradi tetap diam, marahlah Resi Gotama dan dengan lantang ia menyebut dan berubahlah ibu Anjani menjadi tugu batu. Resi Gotama yang terbakar cemburu, melempar tugu batu itu ke seberang lautan, tugu batu itu jatuh ke tanah Alengka. Guwarsa dan Guwarsi berebutan ingin memiliki cupu itu. Resi Gotama melempar ke udara. Tutupnya terjatuh dan menjadi Telaga Nirmala di Ayodya dan cupu yang berisi air jatuh di hutan belantara menjadi  Telaga Sumala. 

Mereka bertiga, Anjani, Guwarsa dan Guwarsi mengejar cupu tersebut. Sesampainya di telaga Guwarsa dan Guwarsi masuk ke dalam air dan berubahlah mereka manjadi kera. Nama mereka pun berubah menjadi Subali dan Sugriwa. Anjani yang menyusul setelahnya, membasuh diri dengan air tersebut dan ia pun berubah menjadi kera. Mereka bertiga bersedih pun ayahnya dan seluruh jagad raya. Akhirnya, mereka bertapa. Anjani menjalankan tapa paling berat. Suatu kali ia diberi daun jati malela. Ia mengandung dan melahirkan Anoman.
Berikut penjelasan Resi Gotama akan Cupu Manik Astagina tersebut.

“Putriku, benda ajaib ini adalah Cupu Manik Astagina, yang merupakan air kehidupan yang berasal dari permata permata mendung. Dalam air kehidupan itulah berada jagad raya sebelum dirusak oleh dosa manusia, di dalam air kehidupan itu jiwa jiwa ilahi hidup dalam keseimbangan serupa keindahan aneka warna. Itulah sebabnya kau tidak mendengar jeritan manusia atau kicauan burung atau gaung suara serigala yang merindukan sesuatu yang belum dimilikinya”.
Secuil kisah di atas, jika dibaca langsung dari novel Sindhunata terasa begitu sarat makna. Perbuatan Guwarsa Guwarsi yang menginginkan cupu yang bukan milik mereka berakibat buruk. Mereka ingin memiliki dunia jika mereka memiliki Cupu Manik Astagina. Sebagaimana dalam tulisan Sindhunata,

“...kesaktian itu tidak dapat direbut, kesaktian itu tidak dapat datang dengan sendirinya. Kesaktian itu lahir dari usaha manusia yang mau berusaha dan bertapa. Kaumau merebut kesaktian itu, tapi kini akhirnya kesaktian itu justru mencampakkanmu menjadi kera.” 
Walaupun, sebenarnya Cupu Manik Astagina itu milik Anjani, dikatakan dalam kisah Anak Bajang Mengiring Angin belumlah saatnya ia memiliki cupu itu. Wujud mereka bertiga sebagai kera, makhluk yang hina adalah karena dosa-dosa, perbuatan yang mereka lakukan karena dilingkupi hawa nafsu. Namun, dibalik wujud kera itu tersimpan pesan bahwa raga kita di dunia ini tidaklah penting  yang penting adalah apa yang ada di dalamnya. Semakin menjadi buruk secara fisik, semakin membuat kita, manusia, menyadari bahwa kita tidak ada apa-apanya dibandingkan Sang Pencipta. Dengan berwujud sebagai kera, seluruh kesombongan yang ada, sebagaimana Anjani yang digambarkan nan cantik jelita, kemudian sirna. Kesombongan itu dapat dikalahkan dengan kerendahan hati. Mereka un semakin menyadiri diri sebagai titah, dalam rupa kera.
“Anakku, kera adalah titah yang merindukan kesempurnaan manusia. Ia paling dekat pada bentuk seorang manusia. Untuk itulah, ia selalu berprihatin, supaya lekas diangkat kesempurnaanya. Janganlah kau anggap itu semuanya sebagai ketidak adilan, tetapi rasakanlah sebagai kerinduan akan kesempurnaan. Dan berbahagialah kau,  Anakku, karena kerinduan itulah yang  menciptakan kerendahan hati dan memberi harapan akan sesuatu yang belum dimilki yaitu kesempurnaan. Lebih berbahagia kamu daripada mereka yang sudah berada dalam kepenuhan akan kesempurnaan tapi kemudian mencampakkan kepenuhan itu kepada dosa dosa yang diperbuatnya.”
Air dalam cupu tersebut yang bercampur dalam Telaga Sumala artinya air suci itu telah bercampur dengan air duniawi. Itu merupakan petanda bahwa dalam dunia yang sarat dosa masih ada air kehidupan, harapan, yang menolong makhluk di dunia untuk dapat mencapai keilahian. 

“Anakku, kau mengira hanya dengan budimu kau dapat mencapai kebahagiaan yang abadi. Kau lupa bahwa hanya dengan pertolongan yang Ilahi, baru kau dapat mencapai cita cita mulia. Manusia memang terlalu percaya pada kesombongannya, lupa bahwa kesombonganya hanyalah setitik air dilautan kelemahannya yang dapat menenggelamkan dirinya. Dan ingatlah pula, air kehidupan permata mendung itu pun sudi bercampur dengan air duniawi yang belum sempurna. Air suci itu menderita, tapi dari penderitaannya itulah dunia akan memperoleh kebahagiannya.  
 
 

Arsip Blog