Kamis, 28 Maret 2013
PONDOK SPIRITUAL CUPU MANIKASTAGINA
PONDOK CUPU MANIK ASTAGINA | MADIUN JAWA TIMUR
“Putriku, benda ajaib ini adalah Cupu Manik Astagina, yang merupakan air kehidupan yang berasal dari permata permata mendung. Dalam air kehidupan itulah berada jagad raya sebelum dirusak oleh dosa manusia, di dalam air kehidupan itu jiwa jiwa ilahi hidup dalam keseimbangan serupa keindahan aneka warna. Itulah sebabnya kau tidak mendengar jeritan manusia atau kicauan burung atau gaung suara serigala yang merindukan sesuatu yang belum dimilikinya”.
Secuil
kisah di atas, jika dibaca langsung dari novel Sindhunata terasa begitu sarat
makna. Perbuatan Guwarsa Guwarsi yang menginginkan cupu yang bukan milik mereka
berakibat buruk. Mereka ingin memiliki dunia jika mereka memiliki Cupu Manik
Astagina. Sebagaimana dalam tulisan Sindhunata,
“...kesaktian itu tidak dapat direbut, kesaktian itu tidak dapat datang dengan sendirinya. Kesaktian itu lahir dari usaha manusia yang mau berusaha dan bertapa. Kaumau merebut kesaktian itu, tapi kini akhirnya kesaktian itu justru mencampakkanmu menjadi kera.”
Walaupun,
sebenarnya Cupu Manik Astagina itu milik Anjani, dikatakan dalam kisah Anak Bajang Mengiring Angin
belumlah
saatnya ia memiliki cupu itu. Wujud mereka bertiga sebagai kera, makhluk
yang
hina adalah karena dosa-dosa, perbuatan yang mereka lakukan karena
dilingkupi
hawa nafsu. Namun, dibalik wujud kera itu tersimpan pesan bahwa raga
kita di
dunia ini tidaklah penting yang penting
adalah apa yang ada di dalamnya. Semakin menjadi buruk secara fisik,
semakin membuat
kita, manusia, menyadari bahwa kita tidak ada apa-apanya dibandingkan
Sang Pencipta. Dengan berwujud sebagai kera, seluruh kesombongan yang
ada,
sebagaimana Anjani yang digambarkan nan cantik jelita, kemudian sirna.
Kesombongan itu dapat dikalahkan dengan kerendahan hati. Mereka un
semakin
menyadiri diri sebagai titah, dalam
rupa kera.
Air
dalam cupu tersebut yang bercampur dalam Telaga Sumala artinya air suci itu
telah bercampur dengan air duniawi. Itu merupakan petanda bahwa dalam dunia
yang sarat dosa masih ada air kehidupan, harapan, yang menolong makhluk di
dunia untuk dapat mencapai keilahian.
“Anakku, kau mengira hanya dengan budimu kau dapat mencapai kebahagiaan yang abadi. Kau lupa bahwa hanya dengan pertolongan yang Ilahi, baru kau dapat mencapai cita cita mulia. Manusia memang terlalu percaya pada kesombongannya, lupa bahwa kesombonganya hanyalah setitik air dilautan kelemahannya yang dapat menenggelamkan dirinya. Dan ingatlah pula, air kehidupan permata mendung itu pun sudi bercampur dengan air duniawi yang belum sempurna. Air suci itu menderita, tapi dari penderitaannya itulah dunia akan memperoleh kebahagiannya.”
Cupu Manik Astagina merupakan ajaran
Sunan Kalijaga agar masyarakat sejahtera. Asta berarti delapan, yang berarti
ada delapan ajaran. Kedelapan hal tersebut adalah wanita, garwa
‘jodoh’, wisma ‘rumah’, turangga ‘kuda tunggangan’, curiga ‘keris’ atau ‘senjata’, kukila ‘burung berkutut’, waranggana ‘ronggeng-penari wanita’, pradangga ‘gamelan-bebunyian berirama’.
Tulisan
ini tidak akan menjelaskan makna Cupu Manik Astagina dari sisi ajaran Sunan
Kalijaga kembali, melainkan akan mencari makna Cupu Manik Astagina yang
kisahnya dapat dibaca dalam Anak Bajang
Mengiring Angin karya Sindhunata.
Awalnya,
Cupu Manik Astagina itu dimiliki oleh Retna Anjani, anak Resi Gotama. Dalam
penglihatan Resi Gotama, isi Cupu tersebut adalah segala isi jagad raya yang
indah sekali. Cupu yang ternyata cupu wasiat itu adalah milik pada dewa. Di
negeri para malaikat dewa-dewa mandi dengan air kehidupan dari permata-permata
mendung. Ketika dewa ingin membawa air tersebut, mereka tidak menemukan
wadahnya, maka para malaikat memberkan cupu dan digunakanlah untuk menyimpan
air itu.
Setelah ditanya, ternyata cupu tersebut berasal dari ibunya, Dewi Windradi dengan pesan agar cupu itu tidak ketahuan ayah dan saudaranya. Resi Gutama pun menyelidiki asal muasal cupu itu. Dewi Windradi tetap tidak bicara. Ternyata, cupu itu pemberian Batara Surya ketika Dewi Windradi berkasih-kasihan dengannya. Perbuatannya bukan semata-mata karena nafsu, melainkan karena ia melihat kasih yang diberi Batara Surya terhadap penderitaannya. Kala itu, Batara Surya meramalkan bahwa cupu itu akan membawa penderitaan pada keturunannya demi perubahan dunia.
Karena Dewi Windradi tetap diam, marahlah Resi Gotama dan dengan lantang ia menyebut dan berubahlah ibu Anjani menjadi tugu batu. Resi Gotama yang terbakar cemburu, melempar tugu batu itu ke seberang lautan, tugu batu itu jatuh ke tanah Alengka. Guwarsa dan Guwarsi berebutan ingin memiliki cupu itu. Resi Gotama melempar ke udara. Tutupnya terjatuh dan menjadi Telaga Nirmala di Ayodya dan cupu yang berisi air jatuh di hutan belantara menjadi Telaga Sumala.
Mereka bertiga, Anjani, Guwarsa dan Guwarsi mengejar cupu tersebut. Sesampainya di telaga Guwarsa dan Guwarsi masuk ke dalam air dan berubahlah mereka manjadi kera. Nama mereka pun berubah menjadi Subali dan Sugriwa. Anjani yang menyusul setelahnya, membasuh diri dengan air tersebut dan ia pun berubah menjadi kera. Mereka bertiga bersedih pun ayahnya dan seluruh jagad raya. Akhirnya, mereka bertapa. Anjani menjalankan tapa paling berat. Suatu kali ia diberi daun jati malela. Ia mengandung dan melahirkan Anoman.
Setelah ditanya, ternyata cupu tersebut berasal dari ibunya, Dewi Windradi dengan pesan agar cupu itu tidak ketahuan ayah dan saudaranya. Resi Gutama pun menyelidiki asal muasal cupu itu. Dewi Windradi tetap tidak bicara. Ternyata, cupu itu pemberian Batara Surya ketika Dewi Windradi berkasih-kasihan dengannya. Perbuatannya bukan semata-mata karena nafsu, melainkan karena ia melihat kasih yang diberi Batara Surya terhadap penderitaannya. Kala itu, Batara Surya meramalkan bahwa cupu itu akan membawa penderitaan pada keturunannya demi perubahan dunia.
Karena Dewi Windradi tetap diam, marahlah Resi Gotama dan dengan lantang ia menyebut dan berubahlah ibu Anjani menjadi tugu batu. Resi Gotama yang terbakar cemburu, melempar tugu batu itu ke seberang lautan, tugu batu itu jatuh ke tanah Alengka. Guwarsa dan Guwarsi berebutan ingin memiliki cupu itu. Resi Gotama melempar ke udara. Tutupnya terjatuh dan menjadi Telaga Nirmala di Ayodya dan cupu yang berisi air jatuh di hutan belantara menjadi Telaga Sumala.
Mereka bertiga, Anjani, Guwarsa dan Guwarsi mengejar cupu tersebut. Sesampainya di telaga Guwarsa dan Guwarsi masuk ke dalam air dan berubahlah mereka manjadi kera. Nama mereka pun berubah menjadi Subali dan Sugriwa. Anjani yang menyusul setelahnya, membasuh diri dengan air tersebut dan ia pun berubah menjadi kera. Mereka bertiga bersedih pun ayahnya dan seluruh jagad raya. Akhirnya, mereka bertapa. Anjani menjalankan tapa paling berat. Suatu kali ia diberi daun jati malela. Ia mengandung dan melahirkan Anoman.
Berikut penjelasan Resi Gotama akan Cupu Manik
Astagina tersebut.
“Putriku, benda ajaib ini adalah Cupu Manik Astagina, yang merupakan air kehidupan yang berasal dari permata permata mendung. Dalam air kehidupan itulah berada jagad raya sebelum dirusak oleh dosa manusia, di dalam air kehidupan itu jiwa jiwa ilahi hidup dalam keseimbangan serupa keindahan aneka warna. Itulah sebabnya kau tidak mendengar jeritan manusia atau kicauan burung atau gaung suara serigala yang merindukan sesuatu yang belum dimilikinya”.
“...kesaktian itu tidak dapat direbut, kesaktian itu tidak dapat datang dengan sendirinya. Kesaktian itu lahir dari usaha manusia yang mau berusaha dan bertapa. Kaumau merebut kesaktian itu, tapi kini akhirnya kesaktian itu justru mencampakkanmu menjadi kera.”
“Anakku, kera adalah titah yang merindukan
kesempurnaan manusia. Ia paling dekat pada bentuk seorang manusia. Untuk
itulah, ia selalu berprihatin, supaya lekas diangkat kesempurnaanya. Janganlah
kau anggap itu semuanya sebagai ketidak adilan, tetapi rasakanlah sebagai
kerinduan akan kesempurnaan. Dan berbahagialah kau, Anakku, karena
kerinduan itulah yang menciptakan kerendahan hati dan memberi harapan akan
sesuatu yang belum dimilki yaitu kesempurnaan. Lebih berbahagia kamu daripada
mereka yang sudah berada dalam kepenuhan akan kesempurnaan tapi kemudian
mencampakkan kepenuhan itu kepada dosa dosa yang diperbuatnya.”
“Anakku, kau mengira hanya dengan budimu kau dapat mencapai kebahagiaan yang abadi. Kau lupa bahwa hanya dengan pertolongan yang Ilahi, baru kau dapat mencapai cita cita mulia. Manusia memang terlalu percaya pada kesombongannya, lupa bahwa kesombonganya hanyalah setitik air dilautan kelemahannya yang dapat menenggelamkan dirinya. Dan ingatlah pula, air kehidupan permata mendung itu pun sudi bercampur dengan air duniawi yang belum sempurna. Air suci itu menderita, tapi dari penderitaannya itulah dunia akan memperoleh kebahagiannya.”
Langganan:
Postingan (Atom)
Arsip Blog
- Maret (1)